NAMA : GITA PUTRI AZIZA
NPM : 33111088
KELAS : 2DB16
1.BAGAIMANA SISTEM KETAHANAN NASIONAL PADA
MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Kepemimpinan
Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling
terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional
yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional,
sementara itu ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin
memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa. Sebaliknya, tanpa kepemimpinan
yang baik dalam pengelolaan sebuah negara, terutama Indonesia sebagai bangsa
yang multi etnis dengan kondisi geografis wilayah negara yang berbentuk
kepulauan, negeri ini amat rentan terhadap guncangan sosial dan politik yang
dapat berujung kepada perpecahan dan disintegrasi bangsa. Ketahanan nasional
yang tinggi juga berpengaruh kuat terhadap terwujudnya kepemimpinan nasional
yang kuat, dapat menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan secara efektif dalam
mengelola pemerintahan negara. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya, saling mendukung dan saling terimbas.
Sejak kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini, rezim pemerintahan negara telah
berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan dalam tiga fase atau orde.
Setiap penguasa dengan episode-nya masing-masing memiliki karakteristik dan
gaya pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden
Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, dengan pola pemerintahan
nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan
imprealisme-kolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup
berhasil menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan
ketahanan nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat
belia itu, Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat
berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah
tidak berubah yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa
bagian wilayah lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara
Kalimantan, Timor-Timur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat
ditaklukan untuk diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya
bagian integral bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu.
Masa pemerintahan
Soekarno tidaklah luput dari berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah
kepada bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan demi
pemberontakan terjadi di beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi. Upaya pecah-belah negara yang baru terbentuk inipun juga telah
dilakukan secara “legal” melalui pembentukan negara-negara kecil di nusantara
yang menyatu dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan
Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun, kepemimpinan Orde Lama dengan gaya
khas seorang orator dan diplomat ulung, Soekarno dapat dipandang berhasil
mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai langkah strategis, baik kedalam
negeri maupun ke tataran diplomasi internasional. Kondisi ketahanan nasional
tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di tahun 1966/67.
Era Orde Lama
berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde
Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden
Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan barunya: “bertekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna
tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat yang rindu dengan
pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan bermasyarkat tetapi juga
dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde
Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen masyarakat yang
terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan
disintegrasi bangsa untuk sementara waktu.
Langkah
pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok rakyat
melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara signifikan
meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di antara sesama
anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar suku dan etnis,
termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat perbedaan di antara
berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada gilirannya dapat mempertinggi
ketahanan nasional negara Indonesia. Program transmigrasi yang diperkirakan
telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis Jawa-Madura-Bali ke hampir semua
komunitas di seantero nusantara juga menjadi salah satu kunci keberhasilan
kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto dalam menciptakan persatuan dan
kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan ketahanan nasional.
Dalam mengatasi
pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan
gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi yang disesuaikan dengan
kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak kriminalitas dan premanisme,
pimpinan nasional saat itu menerapkan pola penghilangan paksa ala militer
melalui satuan khusus bawah tanah, petrus (penembak misterius) yang
menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah
menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan tidak hanya sebagai strategi
preventif-represif tapi juga sebagai komponen petugas penindakan dan recovery
terhadap tindakan yang mengarah kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa
Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus
berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga
saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih
berganti 4 presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman
Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya
dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya
Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah
alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke wilayah
kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya kepemiminan
nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan
bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan nasional saat ini
mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional dalam kaitannya dengan
penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain, bagaimanakah efektivitas kepemimpinan
nasional di era reformasi terhadap peningkatan ketahanan nasional? Persoalan
utama ini tentunya amat menarik untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam
rangka menginspirasi setiap anak bangsa, teristimewa para pemimpin nasional,
dalam mencari formula kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di
masa mendatang.
2.BANDINGKAN SISTEM KETAHANAN NASIONAL DI
NEGARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA LAIN DI DUNIA.
Bobroknya
Ketahanan Nasional Indonesia sebagai Negara Maritim
Secara geografis
negara Indonesia dikenal sebagai negara maritim, yaitu negara yang letaknya
dikelilingi oleh banyak pulau. Negara kita mempunyai predikat sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia. Dengan hampir dua per tiga wilayah negeri ini
adalah air dan lautan.
Kalau kita
berbicara mengenai konsep negara maritim, tidaklah lepas dari kepentingan
pertahanan dan industri pertahanan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi juga melindungi
seluruh kekayaan alam yang dimilikinya. Jangan sampai sebagai negara maritim,
kita tidak dapat menjaga ribuan pulau yang dimiliki dan sumber kekayaan alam
lainnya.
Definisi dari
ketahanan nasional itu sendiri adalah segala usaha untuk mempertahankan
keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Apabila kita melihat pembangunan
sistem pertahanan nasional di negara kita dan kita kaitkan dengan konsep negara
Indonesia sebagai negara maritim.
Maka belum ada
keselarasan antara pembangunan sistem pertahanan dengan konsep negara kita
sebagai negara martim. Hal ini dapat dibuktikan dari perbandingan antara luas
wilayah perairan negara kita dengan minimnya peralatan kapal selam yang
dimiliki negara Indonesia untuk menjaga wilayah maritimnya dari ancaman yang
mengganggu keutuhan bangsa dan negara. Serta belum ada kesadaran dari seluruh
komponen bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang tangguh.
Dampak yang akan
dialami oleh negara kita tak heran jika pertahanan nasional di sektor kelautan
menjadi rapuh. Alhasil, tak sedikit batas wilayah kedaulatan NKRI selalu di
langgar oleh pihak asing. Misalnya sudah beberapa kali kapal-kapal dari negara
lain melanggar masuk ke wilayah NKRI.
Untuk kedepannya
persoalan maritim atau kelautan akan semakin penting. Misal, dari sektor
ekonomi, jalur-jalur perhubungan dan perdagangan lewat laut sejalan dengan
proses globalisasi menuju pasar bebas akan semakin ramai. Di sisi lain, laut
juga mempunyai arti ekonomi yang besar karena kandungan sumber-sumber alamnya
yang dapat menguntungkan bagi Indonesia.
Sehingga apabila
kondisi pertahanan nasional di sektor maritim ini tidak segera di perbaiki.
Maka negara Indonesia akan kehilangan keuntungan di sektor ekonomi,
misalnya jalur perdagangan Indonesia dengan negara lain akan terganggu,
kegiatan ekspor-impor barang juga terganggu. Serta Indonesia akan kehilangan
sumber kekayaan alamnya.
Dan menurut
pendapat saya, memang seharusnya warga negara indonesia saling bersatu dalam
menjaga persatuan dan kesatuan wilayah maupun segala sesuatu yang dimiliki
indonesia agar tidak mudah diakui oleh negara lain ataupun diambil negara lain.
Daftar Pustaka :